HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Gagal Negosiasi, Buruh Jember Geruduk Kantor Disnaker dan Gudang PT FFT

Puluhan massa dari Laskar Jahanam dan SBMB turun ke jalan menuntut keadilan bagi pekerja PT Fengyi Food Trading Jember. Dugaan pelanggaran hak normatif buruh seperti pemotongan upah, ketiadaan BPJS, dan kerja tanpa kontrak menjadi sorotan tajam dalam aksi ini.

Puluhan massa dari Laskar Jahanam dan Serikat Buruh Muda Bersatu (SBMB) melakukan unjuk rasa di depan gudang PT Fengyi Food Trading (FFT) dan Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jember. (Dok. Istimewa)


Jember (Warta Rakyat) - Puluhan massa dari Laskar Jahanam dan Serikat Buruh Muda Bersatu (SBMB) melakukan unjuk rasa di depan gudang PT Fengyi Food Trading (FFT) dan Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jember, menyusul gagalnya negosiasi antara serikat pekerja dengan manajemen perusahaan es krim tersebut sehari sebelumnya.

Aksi tersebut, menurut Koordinator Lapangan Dwiagus Budianto, merupakan puncak dari proses panjang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tidak membuahkan hasil meski telah melalui berbagai mediasi.

“Mulai dari upaya musyawarah, sampai pengaduan hingga pelaporan ke Disnaker Jember,” kata Dwi dalam orasinya di hadapan massa dan pengamanan polisi.

Dwi menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh PT FFT terhadap para pekerjanya merupakan bentuk “perbudakan modern”. Ia menyoroti berbagai pelanggaran hak normatif pekerja yang terjadi di perusahaan tersebut, mulai dari status kerja yang tidak jelas, pemberian upah di bawah UMK, hingga tidak adanya perlindungan jaminan sosial.

“Jadi perusahaan itu zalim memperbudak pekerjanya. Bayangkan, lembur tidak ada tambahan upah tapi ketika pekerja terlambat upahnya dipotong. Karyawan juga tidak ada kontrak kerja padahal sudah lama mereka bekerja,” tegas Dwi.

Ia menambahkan bahwa pekerja kerap diberi surat peringatan (SP) meski sudah memberikan izin sakit tertulis. Gaji para buruh juga disebut sering terlambat dibayarkan, bahkan hingga melewati tanggal yang seharusnya.

Fakta-fakta pelanggaran itu, menurut Dwi, telah berlangsung sejak perusahaan mulai beroperasi sekitar lima tahun lalu. Ia juga mengungkapkan bahwa perusahaan kerap mengganti nama dan kepemilikan, yang diduga sebagai upaya untuk menghindari pengawasan dari otoritas ketenagakerjaan.

Dalam aksi yang digelar serentak di dua titik, massa menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pihak perusahaan dan pemerintah. Di antaranya adalah:

  • Penetapan status hubungan kerja tertulis yang sah,
  • Pemberian upah layak dan sesuai UMK,
  • Penghapusan potongan upah sepihak,
  • Pembayaran upah lembur sesuai ketentuan undang-undang,
  • Pemberian tunjangan hari raya (THR),
  • Kepesertaan penuh dalam BPJS Ketenagakerjaan,
  • Pembayaran gaji tepat waktu,
  • Penghormatan terhadap hak berserikat pekerja,
  • Pengembalian potongan upah yang tidak sah, serta
  • Restitusi atas seluruh hak normatif yang dilanggar. (Ed: Ruk)