HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Dana Desa Capai Rp 610 Triliun, Tapi PADes Menyusut Tajam

Booklet Kedeputian Pencegahan dan Monitoring


Wartarakyat – Satu dekade bergulir sejak program Dana Desa diluncurkan pada 2015, pemerintah telah mengalokasikan total anggaran sebesar Rp 610 triliun.

Dana ini ditujukan untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan desa di seluruh Indonesia. Namun, sejumlah tantangan masih membayangi efektivitasnya, mulai dari ketimpangan pembangunan, ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat, hingga transparansi dan efektivitas pengelolaan dana.

Dana desa telah dimanfaatkan untuk membangun berbagai infrastruktur dasar seperti jalan desa, sistem irigasi, pengolahan limbah, hingga pos kesehatan desa (poskesdes).

Hasilnya, jumlah desa mandiri meningkat signifikan. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) 2024, jumlah desa mandiri mencapai 17.203 melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun, masih ada 6.100 desa tertinggal, jauh dari target 3.232 desa.

Ketimpangan dan Ketergantungan

Ketimpangan pembangunan terlihat jelas antara wilayah barat dan timur Indonesia. Sepuluh tahun terakhir, sebanyak 8.520 desa di wilayah barat mendapatkan tambahan jalan beraspal, jauh di atas 3.785 desa di wilayah timur.

Ketimpangan juga tercermin dalam akses terhadap fasilitas dasar seperti pengolahan limbah, PAUD, dan layanan kesehatan.

Tak hanya ketimpangan, ketergantungan fiskal juga menjadi sorotan. Meski alokasi dana desa terus meningkat, dari tahun ke tahun, Pendapatan Asli Desa (PADes) justru menyusut drastis, dari Rp 10 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 3,22 triliun pada 2023.

Ini menandakan bahwa alih-alih menjadi stimulan ekonomi lokal, dana desa malah menciptakan ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Regulasi earmarking atau pengaturan khusus penggunaan dana juga dianggap membatasi fleksibilitas desa dalam mengelola anggaran sesuai kebutuhan lokal. Banyak desa merasa terbatasi karena dana harus digunakan untuk pos tertentu saja.

BUMDes: Potensi dan Tantangan

Pemerintah mendorong Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai instrumen utama kemandirian ekonomi desa. Beberapa contoh sukses, seperti BUMDes Tirta Kencana di Gunungkidul, Yogyakarta, dan BUMDes di Desa Pujon Kidul, Malang, menunjukkan bahwa BUMDes dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara signifikan.

BUMDes Tirta Kencana, misalnya, berhasil mengelola jaringan air bersih dan menyumbang Rp 240 juta ke kas desa pada 2024. Dana ini kemudian diputar untuk layanan pinjaman modal bagi warga. Di Pujon Kidul, Café Sawah yang dikelola BUMDes mampu meningkatkan PADes dari hanya Rp 20-30 juta pada 2011 menjadi Rp 1,1 miliar pada 2024.

Namun, tidak semua BUMDes berhasil. Banyak yang hanya didirikan untuk memenuhi target administratif tanpa arah bisnis yang jelas. Minimnya kapasitas manajerial dan perencanaan menjadi penghambat utama. Beberapa BUMDes bahkan mencaplok usaha warga yang sudah ada tanpa memberi nilai tambah ekonomi.

Minim Partisipasi Warga dan Kurangnya Transparansi

Survei Litbang Kompas menunjukkan, enam dari sepuluh warga desa tidak mengetahui keberadaan program dana desa. Hal ini menunjukkan kurangnya sosialisasi dan transparansi. Masyarakat jarang dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pengawasan anggaran.

Selama ini, laporan pertanggungjawaban dana desa hanya dikirimkan ke pemerintah kabupaten atau kota, tanpa ada kewajiban menyampaikan laporan kepada masyarakat. Ini memperlebar jarak antara warga dan pengelolaan dana desa.

Langkah Perbaikan Pemerintah

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, pemerintah telah meluncurkan program Jaksa Garda Desa (Jaga Desa).

Lewat platform digital ini, perangkat desa dapat melaporkan penggunaan dana desa dan mendapatkan pendampingan hukum jika menghadapi tekanan eksternal. PPATK juga dilibatkan untuk memantau aliran dana desa guna mencegah korupsi.

Selain itu, Peraturan Menteri Desa Nomor 2 Tahun 2024 mewajibkan minimal 20 persen dana desa digunakan untuk mendukung ketahanan pangan dan usaha ekonomi berbasis desa. Pemerintah juga menggelar Festival Bangun Desa yang melibatkan tokoh publik dan hiburan sebagai upaya meningkatkan pemahaman warga tentang program ini.

Conclusion

Sepuluh tahun program dana desa memberikan dampak positif terhadap pembangunan infrastruktur dan peningkatan status desa. 

Namun, tantangan seperti ketimpangan wilayah, ketergantungan fiskal, kurangnya transparansi, serta lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat desa masih harus diatasi. 

Untuk mewujudkan kemandirian desa yang sejati, dibutuhkan upaya yang lebih menyeluruh tidak hanya dari pemerintah pusat, tetapi juga partisipasi aktif warga dan penguatan kapasitas lokal.

(Ed: Ruk)


Referensi:

https://www.kompas.id/artikel/apa-evaluasi-10-tahun-dana-desa